Tuesday, January 29, 2019

Cerpen | Gugur



Oleh: Dwi Zayanti
***********
California, 15 Oktober 2002

Musim gugur telah tiba. Daun-daun mulai berjatuhan di tanah, memisahkan diri dari batang dan ranting tempatnya tinggal. Entah karena memang telah layu ataupun terkena hembusan angin.
"Kau tahu kenapa di setiap musim gugur daun-daun selalu berjatuhan, George?" tanya ibu suatu hari ketika kami sedang menikmati coklat panas di halaman belakang rumah sambil mengamati sebuah daun maple yang melayang di udara.
"Tidak, Bu. Bisakah Ibu memberi tahuku?" aku bertanya tepat sesaat setelah daun itu menyentuh tanah. Warna mereka sama; merah bata.
"Karena ketika musim gugur, sinar matahari sangat sedikit menjamah bumi. Pohon tidak memiliki cukup waktu untuk membuat cadangan makanan. Sehingga ia harus merelakan daun-daun itu jatuh, meninggalkannya sendirian." Angin lembut menerpa wajah kami saat ibu mengatakannya.
"Kadang-kadang, kita harus menjadi seperti pohon di musim gugur, George. Merelakan sesuatu yang berharga pergi. Tapi jangan khawatir, setelah musim dingin berakhir, Tuhan akan mengganti daun-daun itu dengan dedaunan yang baru. Daun-daun yang lebih cantik dan lebih hijau." Ibu tersenyum, tangan kanannya mengusap pipi kiriku yang kemerahan. Sedang tangan kirinya menggenggam jemariku. Ah, tangan ibu memang ajaib. Sentuhannya selalu menghangatkan bagian paling dingin sekalipun juga menyembuhkan bagian paling sakit sekalipun.  Betapa berharganya ibu bagi anak laki-laki berambut coklat ini.
"Seperti itulah, George.  Terkadang hidup memaksa kita untuk harus merelakan sesuatu yang berharga pergi," ucap ibu dengan nada paling lembut.
*****
_California, 15 Oktober 2018_
Hari ini, aku kembali mengingatnya, bu. Mengingat setiap detil nasihatmu, pada musim gugur 16 tahun lalu. Musim gugur terakhir dimana aku tak akan pernah lupa senyum terindah milikmu, sebelum engkau gugur dan membiarkan aku menjadi pohon tak berdaun.
********
Cirebon,  9 Des 2018
#penaiaibbc
#kuisDialogTag
#juara2

No comments:

Post a Comment