Seorang
kakek berdiri di teras rumahnya yang keriput dimakan oleh zaman. Tatapnya amat
kosong, ia terus menatap langit dengan penuh kegundahan. Pohon-pohon melambai
diterpa hembusan angin pagi. Tak ada yang tahu apa maksud dirinya menatap
dengan penuh keluh itu. Tiba-tiba lamunannya terhenti oleh derap langkah kaki
yang ia kenali dari jauh. Seorang perumpuan paruh baya keluar dari dalam rumah
dan menyapanya dengan lembut.
“Pak?
Ini teh hangatnya.” Ucap perempuan itu.
“Iya
terima kasih. Nak, dunia ini sudah menua. Jagaen
awak lan batin piyambek (jagalah badan dan batinmu).” Pinta kakek itu.
“Iya
Pak, insyaallah Laeli akan menjaga diri selalu.” Kata perempuan itu sembari
menuangkan teh ke gelas.
Hari
itu memang amat cerah tetapi sedikit berawan. Kambing-kambing sedari tadi
digiring pergi ke ladang untuk mencari makan oleh tuannya. Awan bergerak
mengikuti seorang kakek yang tadi baru saja meneguk teh hangatnya. Kakek itu
bukanlah orang biasa, ia amat disegani oleh seluruh penduduk desa. Maklum, dia
adalah orang yang paling dituakan di desa itu, bahkan usianya kini sudah hampir
seratus tahun atau lebih tepatnya sembilan puluh delapan. Dengan berbekal
tongkat kayu di tangan kanannya, dia pun terus melangkah menuju balai desa.
Sudah
enam tahun berlalu semenjak pergantian Kepala Desa Sukojiwa, desa itu banyak
mengalami penderitaan dan kerugian bagi para penduduknya. Kebun dan pertanian
mengalami banyak sekali kegagalan. Hama dan cuaca yang tak menentu membuat
tanaman padi tak bisa dipanen dengan maksimal. Akibatnya, warga pun mulai
berpikir tak lazim untuk mendapatkan sesuap nasi. Banyak cara kotor yang mereka
lakukan, salah satunya adalah pesugihan dan perampokan atau pembegalan.
Mereka hanya ingin terus hidup walau pun
dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Dulunya memang banyak orang yang
mengecam akan hal tersebut, dan tak sedikit dari mereka dikucilkan karena melakukannya.
Namun, nafsu sudah membunuh setiap sendi kemanusiaan mereka. Seiring
berjalannya waktu, mereka pun akhirnya memaklumi hal tersebut dan
berbondong-bondong ikut melakukan kejahatan.
Ayat-ayat
Tuhan telah tertutup oleh nafsu yang terus membuncah tanpa batas. Rumah-rumah
ibadah sudah jarang ditempati oleh mereka. Bahkan, tak sedikit tempat ibadah
yang kotor dan dipenuhi oleh sarang laba-laba. Semua orang beranjak
meninggalkan ayat-ayat Tuhan. Takut? Rasanya, takut kepada-Nya sudah tak ampuh
untuk mengobati perut yang lapar.
Hari
ini adalah hari pemilihan Kepala Desa yang baru. Ada dua orang yang mencalonkan
diri sebagai Kepala Desa yang baru, yaitu Pak Setyo dan Pak Dharmo. Keduanya
merupakan orang yang disegani pula oleh para warga. Pak Setyo yang kini berusia
lima puluh tahun adalah seorang petani dengan luas sawahnya yang
berhektar-hektar. Sedangkan, Pak Dharmo berusia lima puluh lima tahun adalah
seorang pengebul minyak kepala yang amat kaya.
***
Enam
bulan berlalu semenjak terpilihnya Pak Dharmo sebagai Kepala Desa yang baru.
Namun, desa itu tetap saja belum bisa meninggalkan kebiasaan buruknya. Perampok
terus menjarah setiap pintu-pintu rumah warga. Warung remang-remang justru
malah semakin banyak disinggahi pengunjung. Rumornya, Kepala Desa yang baru
justru mendukung adanya warung tersebut dengan dalih untuk pemasukan dana desa
yang amat lumayan banyak.
Warga
yang masih sadar akan pentingnya seorang pemimpin bagi masyaratnya sebagai
teladan, berusaha mengingatkan. Mereka berbaris di depan kantor desa dengan
berpakaian khas masyarakat Jawa pada umumnya.
“Pak
Kades, kami di sini untuk berunjuk rasa dan menolak adanya warung remang-remang
yang Bapak dukung itu. Bapak harus segera menutupnya, betul?” teriak seorang
warga
“Betul!”
seru warga lain.
“Hahaha
… siapa namamu? Emangnya kamu siapa?” tanya Pak Dharmo sembari menunjuk warga
yang berorasi tadi.
“Saya
Sukarya, warga dusun dua Pak.” Tegas Sukarya
“Baiklah,
saya tidak mau ada yang terluka di sini. Saya tegaskan lagi, semua ini demi
kalian warga-warga yang miskin. Yang ga punya duit dan sengsara. Sudah, kalian
cepet bubar dari sini atau mau aku paksa bubarkan dengan anak buahku!” perintah
Pak Dharmo.
Seperti
itulah perangainya yang kasar dan tak pernah takut akan balasan dari Tuhan
beserta bala tentara-Nya. Namun sayangnya, setelah kejadian itu Sukarya tak
pernah terlihat lagi oleh para warga. Menurut istrinya, malam setelah unjuk
rasa di balai desa tadi, lalu tiba-tiba suaminya dibawa oleh segerombolan orang
bercadar hitam. Banyak warga yang mencoba mencarinya tetapi tak kunjung ada
kabarnya kembali ke rumah.
Pada
malam berikutnya, warga yang piket meronda sedang asik duduk di posnya.
Secangkir kopi dan serdadu catur menemani dinginnya malam di pos ronda. Mereka
berdua pun membicarakan kejanggalan yang terjadi atas hilangnya Sukarya.
“Eh,
semenjak demo waktu tadi pagi. Mas Sukarya tak pernah ada kabarnya lagi loh dan
istrinya pun mencarinya tapi ya, ga ketemu juga.” Ujar Parman
“Jangan-jangan,
dia diculik sama Pak Kades?! Soalnya kata orang-orang, Pak Kades tuh orangnya
gak suka kalo ada yang ngebantah omongannya apalagi sampai ngelawan kayak gitu.
Terlebih lagi, katanya dia itu ikut pesugihan juga loh! Jangan-jangan Sukarya
dijadiin tumbal dia lagi, ih!” kata Komar
“Ah,
yang bener? Kamu jangan asal ngomong entar kalo ga bener bisa-bisa jadi fitnah
loh!” tegas Parman
“Oalah,
orang-orang juga udah pada tahu, kok! Udah banyak orang juga yang pernah liat
Pak Kades sering keluyuran di malam Jum’at Kliwon, terus besok paginya ada aja
rumah warga yang kehilangan duitnya. Aku ga pernah bilang yang enggak-enggak,
tapi faktanya emang kayak gitu.” Ujar Komar.
Di
tengah pembicaraannya, sesosok hitam mendekati mereka. Ah, ternyata itu kakek
yang paling disegani di desa itu. Sembari melemparkan senyuman ke mereka, kakek
itu meminta keduanya untuk memberikan tempat duduk. Namun setelah duduk, raut
wajahnya berubah menjadi merah nanar. Intonasinya pun ikut berubah aneh dan tak
seperti biasanya, setelah mendengar cerita kejanggalan yang terjadi di desanya.
“Dia
akan datang!” ucapnya
“Dia
siapa, Kek?” tanya Parman
“Aduh
Gusti, ampuni dosa-dosa kami.” Ucapnya lagi walau sedikit samar
“Sebenarnya
dia siapa, Kek?” tanya Parman lagi.
“Dia
adalah makhluk penjaga desa ini dari jaman keraton dulu. Dia adalah jelmaan
penguasa alam ghaib. Tubuhnya amat besar dan panjangnya koyo sepur (seperti kereta).” Ujarnya dengan mata merah nanar.
Malam
itu semakin mencekam, udara mendadak pengap dan membuat sesak bernafas. Awan
gelap digiring menutupi setiap wajah langit dan bulan. Gemuruh dan kilat silih
berganti memecah keheningan malam. Mereka terus mendengarkan dengan khusu
cerita kakek tadi. Bagaimana mungkin, makhluk itu masih ada di jaman yang sudah
modern ini. Begitulah yang ada di pikiran mereka berdua. Rasanya amat sulit
mempercayai ucapan sang kakek tadi.
Menurut
sang kakek, makhluk ini tinggal di tempat pemakaman warga. Dia sedang tertidur
panjang di sana. Hanya orang tertentu yang dapat melihatnya secara langsung. Sepanjang
usia bumi, dia baru dua kali muncul ke permukaan. Bukan tanpa sebab ia muncul
ke permukaan dan menampakan diri kepada semua orang. Hanya ada satu alasan atas
kehadirannya, yaitu: untuk menghancurkan peradaban manusia dengan pemimpinnya
yang lalim dan tak bermoral.
Bersambung ….
No comments:
Post a Comment