Wednesday, April 15, 2020

Cerpen | Ulah Lanang Segede Sepur (Ular Jantan Sebesar Kereta) part 1




Oleh: Lukman



Seorang kakek berdiri di teras rumahnya yang keriput dimakan oleh zaman. Tatapnya amat kosong, ia terus menatap langit dengan penuh kegundahan. Pohon-pohon melambai diterpa hembusan angin pagi. Tak ada yang tahu apa maksud dirinya menatap dengan penuh keluh itu. Tiba-tiba lamunannya terhenti oleh derap langkah kaki yang ia kenali dari jauh. Seorang perumpuan paruh baya keluar dari dalam rumah dan menyapanya dengan lembut.
“Pak? Ini teh hangatnya.” Ucap perempuan itu.
“Iya terima kasih. Nak, dunia ini sudah menua. Jagaen awak lan batin piyambek (jagalah badan dan batinmu).” Pinta kakek itu.
“Iya Pak, insyaallah Laeli akan menjaga diri selalu.” Kata perempuan itu sembari menuangkan teh ke gelas.
Hari itu memang amat cerah tetapi sedikit berawan. Kambing-kambing sedari tadi digiring pergi ke ladang untuk mencari makan oleh tuannya. Awan bergerak mengikuti seorang kakek yang tadi baru saja meneguk teh hangatnya. Kakek itu bukanlah orang biasa, ia amat disegani oleh seluruh penduduk desa. Maklum, dia adalah orang yang paling dituakan di desa itu, bahkan usianya kini sudah hampir seratus tahun atau lebih tepatnya sembilan puluh delapan. Dengan berbekal tongkat kayu di tangan kanannya, dia pun terus melangkah menuju balai desa.
Sudah enam tahun berlalu semenjak pergantian Kepala Desa Sukojiwa, desa itu banyak mengalami penderitaan dan kerugian bagi para penduduknya. Kebun dan pertanian mengalami banyak sekali kegagalan. Hama dan cuaca yang tak menentu membuat tanaman padi tak bisa dipanen dengan maksimal. Akibatnya, warga pun mulai berpikir tak lazim untuk mendapatkan sesuap nasi. Banyak cara kotor yang mereka lakukan, salah satunya adalah pesugihan dan perampokan atau pembegalan.
 Mereka hanya ingin terus hidup walau pun dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Dulunya memang banyak orang yang mengecam akan hal tersebut, dan tak sedikit dari mereka dikucilkan karena melakukannya. Namun, nafsu sudah membunuh setiap sendi kemanusiaan mereka. Seiring berjalannya waktu, mereka pun akhirnya memaklumi hal tersebut dan berbondong-bondong ikut melakukan kejahatan.
Ayat-ayat Tuhan telah tertutup oleh nafsu yang terus membuncah tanpa batas. Rumah-rumah ibadah sudah jarang ditempati oleh mereka. Bahkan, tak sedikit tempat ibadah yang kotor dan dipenuhi oleh sarang laba-laba. Semua orang beranjak meninggalkan ayat-ayat Tuhan. Takut? Rasanya, takut kepada-Nya sudah tak ampuh untuk mengobati perut yang lapar.
Hari ini adalah hari pemilihan Kepala Desa yang baru. Ada dua orang yang mencalonkan diri sebagai Kepala Desa yang baru, yaitu Pak Setyo dan Pak Dharmo. Keduanya merupakan orang yang disegani pula oleh para warga. Pak Setyo yang kini berusia lima puluh tahun adalah seorang petani dengan luas sawahnya yang berhektar-hektar. Sedangkan, Pak Dharmo berusia lima puluh lima tahun adalah seorang pengebul minyak kepala yang amat kaya.

***

Enam bulan berlalu semenjak terpilihnya Pak Dharmo sebagai Kepala Desa yang baru. Namun, desa itu tetap saja belum bisa meninggalkan kebiasaan buruknya. Perampok terus menjarah setiap pintu-pintu rumah warga. Warung remang-remang justru malah semakin banyak disinggahi pengunjung. Rumornya, Kepala Desa yang baru justru mendukung adanya warung tersebut dengan dalih untuk pemasukan dana desa yang amat lumayan banyak.
Warga yang masih sadar akan pentingnya seorang pemimpin bagi masyaratnya sebagai teladan, berusaha mengingatkan. Mereka berbaris di depan kantor desa dengan berpakaian khas masyarakat Jawa pada umumnya.
“Pak Kades, kami di sini untuk berunjuk rasa dan menolak adanya warung remang-remang yang Bapak dukung itu. Bapak harus segera menutupnya, betul?” teriak seorang warga
“Betul!” seru warga lain.
“Hahaha … siapa namamu? Emangnya kamu siapa?” tanya Pak Dharmo sembari menunjuk warga yang berorasi tadi.
“Saya Sukarya, warga dusun dua Pak.” Tegas Sukarya
“Baiklah, saya tidak mau ada yang terluka di sini. Saya tegaskan lagi, semua ini demi kalian warga-warga yang miskin. Yang ga punya duit dan sengsara. Sudah, kalian cepet bubar dari sini atau mau aku paksa bubarkan dengan anak buahku!” perintah Pak Dharmo.
Seperti itulah perangainya yang kasar dan tak pernah takut akan balasan dari Tuhan beserta bala tentara-Nya. Namun sayangnya, setelah kejadian itu Sukarya tak pernah terlihat lagi oleh para warga. Menurut istrinya, malam setelah unjuk rasa di balai desa tadi, lalu tiba-tiba suaminya dibawa oleh segerombolan orang bercadar hitam. Banyak warga yang mencoba mencarinya tetapi tak kunjung ada kabarnya kembali ke rumah.
Pada malam berikutnya, warga yang piket meronda sedang asik duduk di posnya. Secangkir kopi dan serdadu catur menemani dinginnya malam di pos ronda. Mereka berdua pun membicarakan kejanggalan yang terjadi atas hilangnya Sukarya.
“Eh, semenjak demo waktu tadi pagi. Mas Sukarya tak pernah ada kabarnya lagi loh dan istrinya pun mencarinya tapi ya, ga ketemu juga.” Ujar Parman
“Jangan-jangan, dia diculik sama Pak Kades?! Soalnya kata orang-orang, Pak Kades tuh orangnya gak suka kalo ada yang ngebantah omongannya apalagi sampai ngelawan kayak gitu. Terlebih lagi, katanya dia itu ikut pesugihan juga loh! Jangan-jangan Sukarya dijadiin tumbal dia lagi, ih!” kata Komar
“Ah, yang bener? Kamu jangan asal ngomong entar kalo ga bener bisa-bisa jadi fitnah loh!” tegas Parman
“Oalah, orang-orang juga udah pada tahu, kok! Udah banyak orang juga yang pernah liat Pak Kades sering keluyuran di malam Jum’at Kliwon, terus besok paginya ada aja rumah warga yang kehilangan duitnya. Aku ga pernah bilang yang enggak-enggak, tapi faktanya emang kayak gitu.” Ujar Komar.
Di tengah pembicaraannya, sesosok hitam mendekati mereka. Ah, ternyata itu kakek yang paling disegani di desa itu. Sembari melemparkan senyuman ke mereka, kakek itu meminta keduanya untuk memberikan tempat duduk. Namun setelah duduk, raut wajahnya berubah menjadi merah nanar. Intonasinya pun ikut berubah aneh dan tak seperti biasanya, setelah mendengar cerita kejanggalan yang terjadi di desanya.
“Dia akan datang!” ucapnya
“Dia siapa, Kek?” tanya Parman
“Aduh Gusti, ampuni dosa-dosa kami.” Ucapnya lagi walau sedikit samar
“Sebenarnya dia siapa, Kek?” tanya Parman lagi.
“Dia adalah makhluk penjaga desa ini dari jaman keraton dulu. Dia adalah jelmaan penguasa alam ghaib. Tubuhnya amat besar dan panjangnya koyo sepur (seperti kereta).” Ujarnya dengan mata merah nanar.
Malam itu semakin mencekam, udara mendadak pengap dan membuat sesak bernafas. Awan gelap digiring menutupi setiap wajah langit dan bulan. Gemuruh dan kilat silih berganti memecah keheningan malam. Mereka terus mendengarkan dengan khusu cerita kakek tadi. Bagaimana mungkin, makhluk itu masih ada di jaman yang sudah modern ini. Begitulah yang ada di pikiran mereka berdua. Rasanya amat sulit mempercayai ucapan sang kakek tadi.
Menurut sang kakek, makhluk ini tinggal di tempat pemakaman warga. Dia sedang tertidur panjang di sana. Hanya orang tertentu yang dapat melihatnya secara langsung. Sepanjang usia bumi, dia baru dua kali muncul ke permukaan. Bukan tanpa sebab ia muncul ke permukaan dan menampakan diri kepada semua orang. Hanya ada satu alasan atas kehadirannya, yaitu: untuk menghancurkan peradaban manusia dengan pemimpinnya yang lalim dan tak bermoral.

Bersambung ….


No comments:

Post a Comment