Sunday, May 31, 2020

Cerpen | Ulah Lanang Segede Sepur (Ular Jantan Sebesar Kereta) part 3


Oleh: Lukman

Hari demi hari suasana desa nampak begitu berbeda. Angin yang biasa datang untuk menyejukan tubuh, kini berganti membawa wabah aneh. Kebanyakan korbannya adalah anak-anak yang berusia di bawah 13 tahun. Tubuhnya panas dan kulit mereka menjadi kasar bak sisik ular. Entah siapa yang mengirimkan wabah ini. Namun yang pasti, ini merupakan sebuah tanda besar.

Namun, tak semua orang lantas mempercayai hal-hal yang dianggap sebuah mitos dan tahayul. Bahkan, Pak Dharmo justru menganggapnya sebagai wabah biasa di musim panceklik. Sebenarnya tabib dan dukun di desa sudah tak sanggup untuk mengobati anak-anak itu. Hingga daun-daun muda itu harus berguguran sebelum waktunya tiba. Jeritan tangis memecah dinding langit yang kokoh. Tetap saja, walau pun demikian Pak Dharmo tak mempercayainya sebagai kenyataan dan tanda besar. Padahal dukun dan tabib itu berkata bahwa mereka didatangi sesosok makhluk besar dan panjang, setiap kali setelah mengobati anak tersebut.

“Pak, aku beberapa kali didatangi makhluk itu. Dia selalu meneriakan namamu dan beberapa warga desa yang lain.” Ucap dukun yang berdiri tegap di ruang aula rumah Pak Dharmo.

“Halah, mimpi itu ‘kan cuma bunga tidur. Itu cuma mimpi Mbah! Udahlah ga usah kamu pikirin lagi!” ketus Pak Dharmo.

“Tapi –” suara dukun itu mendadak terhenti dan berubah menjadi lebih besar

“Dharmo! Waktumu hanya tujuh hari lagi! Ke mana pun kamu lari, takdir tak akan pernah salah alamat. Ingat itu baik-baik!” Mata dukun itu merah nanar dan sambil terus meneriaki Pak Dharmo,

Mendadak ruangan itu menjadi lebih mencekam, jendela-jendela kayu bak sayap burung yang hendak terbang. Terus mengepak dihembus angin yang entah dari mana datangnya. Aroma bunga kantil pun serasa sengaja ditaburkan ke semua hidung orang yang ada di ruangan itu. Namun, Pak Dharmo menyikapinya benar-benar dingin dan acuh tak acuh.

Beberapa menit kemudian, dukun itu lekas sadarkan diri. Wajahnya mulai bercampur aduk, tanpa spasi dan koma dia langsung meninggalkan rumah Pak Dharmo. Aneh, Pak Dharmo tak sedikit pun merasa bersalah dan ketakutan. Ia justru menertawakan makhluk yang merasuki dukun tadi bersama teman-temannya.

“Setan gebleg! Lah, aku diwedini kaya ngono ya ra bakal wedi. Hahaha (Lah, saya ditakuti kaya begitu ya ga bakal takut).” Tawanya dengan segala kejumawahannya.

 Semua orang di rumah itu tertawa terbahak-bahak. Mereka bahkan tak menggubris omongan warga lain. Malah, asyik berpesta ria dengan beberapa minuman keras yang sedari tadi bertengger di meja kaya. Orang gelamor seperti Pak Dharmo memang tidak akan mudah mempercayai tahayul seperti itu walau pun ia melihat dengan mata kakinya.

***

Dua hari setelah kejadian itu, dua puluh persen dari jumlah anak-anak di desa sudah pergi dan tinggal di pelukan bumi. Para warga semakin cemas dan takut. Bahkan sampai ada yang pergi meninggalkan desa. Pak Dharmo? Seperti biasa, dia acuh tak acuh terhadap warganya.

 

Hingga malam itu telah tiba. Pak Dharmo lari kocar-kacir dengan putus asa. Berteriak meminta pertolongan tetapi tak ada satu pun yang mampu mendengarnya. Suara makhluk itu terus menggema di antara pohon-pohon besar. Burung-burung berterbangan hendak menjauh. Langkah Pak Dharmo terhenti kala melihat sebuah gua besar yang menurutnya tempat teraman untuk bersembunyi. Namun sayang disayang, ia terperangah kala melihat teman sejawatnya dililit dan hendak dilahap oleh seekor ular raksasa.

“Mu ... Muklis!” ucapnya terkaku dengan tubuhnya yang tak berhenti gemetaran.

“Tolong aku, Dharmo!” teriak Jono

“Ah? Ka–kamu juga Jon!”

Pak Dharmo hanya terdiam kaku, tanpa pikir panjang ia justru berlari meninggalkan teman sejawatnya itu. Tega betul, teman pestanya ia tinggalkan dan dibiarkan mati dilahap oleh ular itu. Ia terus berlari mencari tempat berlindung. Wajahnya pucat pasih, guyuran keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.

Istrinya mencoba untuk membangunkannya, tetapi hal itu sia-sia. Namun, matanya masih menutup dan sesekali mengigau tak karuan. Rupanya dia sedang bermimpi didatangi oleh makhluk buas itu. Dengan sekujur tubuhnya yang dipenuhi oleh keringat dingin, dia masih tak kunjung sadarkan diri juga.

“Tolong! Tolong! Tolong!” Pak Dharmo terus merancau tak karuan.

Dia hanya terus mengucapkan itu dalam tidurnya. Hingga beberapa tokoh adat didatangkan termasuk Ki Agung. Namun, hanya Ki Agung yang menyadarkannya. Dengan segenap ilmu yang ia punya, sebuah daun kelor diletakan di dahi Pak Dharmo. Dia tahu dengan daun itu, dapat menetralisir gangguan gaib apa pun.

“Dharmo, bangun Mo!” bisik Ki Agung di telinga kiri Pak Dharmo.

“Tidaaak ... hah!” Dengan napas yang terengah-engah Pak Dharmo bangun dari mimpi buruknya.

 “Sekarang kamu ceritakan apa yang telah terjadi, Mo!” ucap Ki Agung, “Ratmi tolong kamu ambilkan air putih dulu untuk suamimu.”

“Ini Mas. Silakan diminum dulu.” Ucap Ratmi sambil menyodorkan air putih ke mulut Pak Dharmo.

Namun. Pak Dharmo tak mengatakan apa pun kepada semua orang. Walau dipaksa sedemikian rupa, dia enggan mengatakannya dan lebih memilih untuk berbaring di ranjangnya kembali. Orang-orang pun merasa kesal dan beranjak pergi dari rumah Pak Dharmo.

Setelah dua hari dari kejadian itu Muklis dan Jono tewas secara mengenaskan. Jasad kedua ditemukan di ladang milik warga dengan wajah yang membiru dan seperti bekas lilitan. Tak ada satu orang pun yang tahu penyebab kematian mereka berdua. Pak Dharmo yang mengetahui teman sejawatnya tewas mengenaskan itu, badannya menggigil lagi.

“Tinggal tiga hari lagi masamu Dharmo.” Seseorang membisiki Pak Dharmo yang entah dari mana datangnya. Wujudnya pun tak nampak mata. Pak Dharmo terus menengok  dan mencarinya ke sana ke mari. Namun, wujud orang yang membisikinya tadi benar-benar tak ada. Dia hanya seorang diri di kamarnya, istrinya pun sedang keluar.

***

“Aduh Gusti, sebentar lagi dia akan datang.” Resah Ki Agung Kusumo, “Ndok, cepet bereskan pakaianmu dan bawa prabotan yang bisa dibawa!”

“Iya Pak.” Ucap Leli dan bergegas menuruti perintah Ki Agung Kusumo.

Suara erangan terdengar keras memenuhi sudut-sudut desa. Semua orang keheranan mendengarnya. Ada juga yang merapihkan pakaian dan beberapa prabotan rumah seadanya. Syamsul lari tungang langgang dari arah pemakaman.

“Dia ... benar-benar datang!” Wajah Syamsul pucat pasih dan dipenuhi oleh keringat dingin.

“Siapa Syul?” tanya seorang warga.

“Bereskan pakaian kalian, lalu cepet lari!” teriak Syamsul sambil meneruskan larinya.

“Hah?! A .. apa itu? Lari!” teriak seorang warga

Ulah Lanang Segede Sepur!” Semua warga meneriakan makhluk itu.

Sesosok ular besar itu melata dengan cepet dari arah datangnya Syamsul. Benda apa pun setiap dia melewatinya akan dihancurkan tanpa tersisa. Dengan tubuhnya yang sebesar kereta api itu, tentu membuatnya sangat mudah menghancurkan apa pun. Berbondong-bondong warga berlarian menghindari dan menyelamatkan diri dari makhluk itu.

Rumah warga banyak yang hancur tak bersisa. Mayat-mayat warga pun banyak yang bergeletakan di jalan. Rumah segagah apa pun tak akan bisa melindungi mereka dari amukan makhluk ini. Tempat perjudian, pelacuran, dan warung remang-remang hancur berkeping-keping. Semua warga panik dan putus asa. Nyawa mereka sudah berada di ujung tanduk.

Hanya satu tempat yang tidak terjamah oleh ular itu. Tempat itu adalah mushola yang beberapa bulan lalu tak terjamah oleh siapa pun. Ternyata ular itu enggan untuk menghancurkan bangunan ini. Dia pun secepat kilat mengejar lelaki paruh baya yang tak lain adalah Pak Dharmo.

“Tidak, tolong maafkan aku!” rintihnya memelas

“Sstttzt.” Ular itu hanya terus berdesis tak menghiraukan Pak Dharmo yang terus lari ketakutan.

“Dharmo! Cepat sembunyi di sini!” teriak Ki Agung dari dalam mushola

Namun, dia tak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Ki Agung Kusumo. Dia terus berlari mencari pertolongan. Di bawah pohon besar dekat pemakam, dia terjebak dan tak bisa lagi berlari. Kakinya tersandung batu dan tak bisa digerakan lagi. Tubuhnya dililit sampai tak lagi bernapas, lalu ular itu melahapnya dengan cepat. Sayang, semua kekuasan, kedudukan, kekerabatan, dan hartanya tak dapat menyelamatkannya dari ganasnya sang Ular.

Setelah itu, bumi diguyur hujan deras selama tiga hari. Penguasa langit ingin membersihkan sisa-sisa kehancuran di desa tersebut. Warga yang masih selamat, keluar dari mushola untuk memastikan ular itu sudah tak ada lagi. Udara segar datang dari arah barat, menandakan musibah itu telah berlalu. Sejak hari itu, warga tak lagi mendengar dan melihat Pak Dharmo. Istri dan anaknya pun entah ke mana bak ditelan bumi.

Warga kembali membangun desanya. Cerita ini akan terus menjadi sebuah nasihat besar untuk generasinya mendatang. Mereka akhirnya pun sadar bahwa tak ada kekuasaan yang dapat menandingi kehendak-Nya. Keangkuhan dan keserakahan akan membawakan alat penghancur massal yang tak terelakan. Semenjak hari itu juga rumah peribadatan tak pernah sepi.


No comments:

Post a Comment