Oleh : Wawat Qomariyah
Setelah mendengar segala cerita si Kakek semalam, Parman dan Komar gelisah bukan main. Suasana ronda
mendadak menjadi mencekam luar biasa, bukan lagi ketakutan pada harta benda
warga yang mungkin saja hilang. Takutnya melebihi semua itu. Apalagi saat si
Kakek pulang meninggalkan mereka berdua di pos ronda, atmosfer ketakutan
bertambah berlipat-lipat. Jangankan untuk tertidur seperti ronda-ronda sebelumnya,
untuk sekadar mengantuk pun mereka tak bisa. Mata mereka masih terjaga sempurna
hingga fajar menyingsing dengan segala pergumulan hebat dalam masing-masing
benak.
“Man, menurut sampeyan apa yang dikatakan Ki Agung
Kusumo itu bener apa ngga, ya?” Komar bertanya pada Parman saat perjalanan pulang. Ini percakapan
pertama mereka lagi setelah semalan terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Ora ngerti aku, Mar. Semaleman aku juga mikirin
terus itu. Mau percaya sama begituan udah gak zaman, kalo gak percaya tapi yang
ngomong Ki Agung. Mana mungkin Ki Agung bohong? Apalagi Ki Agung sudah lama
hidup, pasti banyak yang dia ketahui ketimbang kita.” Jawab parman.
“Tapi ya kalo sampe bener aku takut banget, Man.” Ujar
Komar dengan raut muka panik. Parman hanya menjawab dengan desahan berat, dia
juga sama panik.
Mereka tetap saling diam hingga berpisah di persimpangan
karena arah rumah mereka berbeda.
Pagi dimulai seperti biasa, seperti tak ada cerita apapun
tadi malam karena memang hanya Komar dan Parman yang tahu. Setiba di rumah
masing-masing mereka langsung tertidur tanpa memedulikan seeruan Tuhan yang
mereka dengar dalam perjalanan pulang. Aktifitas warga berjalan tanpa
terpengaruh apapun, tidak terkecuali dengan warung remang-remang yang sudah ada
hampir di setiap sudut desa.
Ki Agung Kusumo pagi ini terduduk dengan pandagan mata
kosong ditemani teh hangat buatan putrinya, Laeli.
"Kenapa toh, Pak? Tehnya diminum nanti
dingin." Tegur Laeli yang melihat Ki Agung bergeming, melamun menatap
langit.
"Dulu Bapak ndak percaya, Nduk. Dulu
kakek buyut Bapak cerita ini dan Bapakmu ini ndak percaya." Gumam
Ki Agung membuat Laeli mengernyitkan dahi.
"Maksudnya apa toh, Pak?" tanya Laeli,
tapi tak ada jawaban dari bibir keriput Ki Agung.
Laeli memutuskan untuk masuk ke dalam rumah,
menyelesaikan pekerjaan yang belum tuntas. Baru saja ia mau melangkahkan
kakinya, tiba-tiba langit di sebelah timur mendadak menghitam. Terlalu cepat
jika itu dikatakan mendung, karena beberapa detik yang lalu matahari masih
bersinar dengan sangat gagah. Dari kejauhan terlihat seperti gumpalan awan
memanjang, melintang menghalangi cahaya bagaskara.
Laeli menghentikan langkahnya, Ki Agung bangkit dari
duduknya. Mata tuanya mengkilap beringas, dahinya mengkerut, tangannya
mengepal, hatinya benar-benar cemas. Kesiur angin kencang berhembus dari arah
timur yang berarti dari arah pemakaman. Suara gemuruh bersahutan seperti akan
turun hujan lebat.
"Ono opo toh, Pak?" Tanya Laeli gemetar,
Ki Agung tak menjawab. Laeli tahu dari gelagat Ki Agung bahwa ini bukan
pertanda baik.
Suasana mencekam itu hanya beberapa menit saja, setelah
itu suasana kembali normal. Langit kembali cerah, tak ada lagi gumpalan awan
hitam memanjang yang menutupi sinar bagaskara. Namun tak berapa lama kemudian,
seseorang dari arah pemakaman lari tunggang langgan tanpa alas kaki. Wajahnya
pucat pasi bak tak ada darah yang mengaliri. Beberapa kali ia terjatuh, akn
tetapi segera bangkit lagi dan kembali berusaha lari. Dia Syamsul, tukang gali
kubur di Desa Sukojiwo. Ki Agung berlari
menghampiri, Laeli menyusul.
"Ono opo toh, Lek? (Ada apa, Nak?)" tanya Ki Agung khawatir. Syamsul tak cepat menjawab,
beberapa kali ia menoleh cemas ke belakang seolah sesuatu yang menakutkan
tengah mengejarnya.
"Kamu yang tenang dulu, tarik nafas!" Perintah
Ki Agung, Syamsul menurut.
"Iku ono iku loh Ki ...," nafas Syamsul terengah-engah tak bisa
melanjutkan kata-katanya.
"Ono opo?"
"Ono ... ono ... ono ... ulah, Ki. Ono ulah segede sepur, Ki.(Ada ... ada ... ada ... ular, Ki. Ada ular segede kereta, Ki.)” Jawab Syamsul gemetar. Wajahnya makin pucat. Wajah Ki Agung
dan Laeli pun memucat.
"Sekarang, cepat kamu pulang! Kasih tau kepada warga
yang lain untuk masuk ke rumah, tinggalkan maksiat, dan banyak eling
(ingat) sama Gusti Yang
Agung!" perintah Ki Agung, Syamsul mengangguk paham. Setelah berpamitan
dia langsung berlari pulang.
"Nduk, mlebu ning umah. Elinga maring Gusti sing akeh (Nak, masuk ke rumah. Banyaklah ingat
sama Tuhan)!" perintah Ki Agung pada Laeli, Laeli
mengangguk ta'dzim lalu segera masuk ke dalam rumah.
Ki Agung Kusumo bergegas, langkahnya masih terlihat kokoh
untuk seusianya. Matanya mendelik tajam, tak ada lagi tampang ramah yang
disukai warganya. Beberapa kali Ki Agung bertemu dengan warga, tapi tak ada
satupun dari mereka yang menyapa seperti biasa. Raut wajah Ki Agung yang
berbeda, membuat tanda tanya besar di benak warga desa. Belum lagi kejadian
yang baru saja terjadi. Beberapa warga yang berpapasan hendak bertanya perihal
langit yang tiba-tiba menghitam namun tak lama kemudian kembali cerah, tapi tak
ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka hanya bisa menerka, mungkin
sesuatu yang buruk sedang atau akan segera terjadi. Sepasang mata mereka hanya
mampu menatap punggung renta Ki Agung yang semakin menjauh.
Langkah Ki Agung berhenti di sebuah rumah dengan
pekarangan luas. Suara riuh terdengar tanpa rasa cemas. Barangkali mereka
terlalu sibuk menikmati musik gamelan diiringi tarian tradisional dari
gadis-gadis berparas ayu, hingga tak sadar apa yang baru saja terjadi. Ki Agung
mengelus dada, menghela napas berat. Musik dan tarian itu memang tradisional
bernuansa budaya bangsa, tapi entah ditambahi apa sehingga rasanya malah tak
patut dipertontonkan. Entah dari pakaian sang penari, tariannya yang
dilebih-lebihkan, atau dari penonton yang bersorak-sorai sambil menggoda
gadis-gadis itu.
Musik mendadak terhenti ketika salah satu dari mereka
melihat kehadiran Ki Agung setelah itu semua mata hampir tertuju kepada sosok
tua yang penuh karisma itu. Pak Dharmo pemilik rumah sekaligus Kepala Desa Sukojiwo
juga ikut menoleh, dia tersenyum licik saat melihat siapa yang datang.
"Oh Ki Agung Kusumo, selamat datang, Ki!" sambut Pak Dharmo dengan nada semi mengejek sambil
menghampiri.
"Ada apa gerangan seorang Ki Agung Kusumo datang ke
rumah saya? Jika dipikir-pikir ini kali pertama Ki Agung mengunjungi rumah saya, setelah saya terpilih menjadi Kepala Desa." Ucap
Pak Dharmo sambil tertawa dibuat-buat.
"Hentikan semua ini, Dharmo!" Ki Agung berkata
tegas. Suasana hening sejenak tercipta, lalu buyar ketika Pak Dharmo tiba-tiba
tertawa.
"Waaah, apa maksud Ki Agung itu? Mbok ya
kalau bertamu itu masuk loh, Ki. Sini kita obrolkan di sini!" Ucap Pak
Dharmo tanpa tasa hormat.
"Dharmo, yang kamu lakukan sudah diluar batas.
Sebaiknya kamu berhenti, hanya soal waktu dia akan muncul." Ancam Ki
Agung. Semua orang yang ada di sana saling melempar pandangan, mencoba mencerna
apa yang tengah terjadi.
"Maksud Ki Agung, Ular penunggu pemakaman itu?
Hahaha." Pak Dharmo tertawa menjijikkan. Ki Agung mulai naik pitam.
"Itu cuman mitos, Ki. Mitos. Hahaha." Pak
Dharmo kembali tertawa, menganggap semua yang diceritakan hanya sebagai
lelucon.
"Terserah kamu, Dharmo. Tapi, Syamsul penggali kubur
dia melihat secara langsung. Aku hanya memperingatkan. Ingat ketika waktu itu
tiba bukan hanya kamu yang celaka, tapi seluruh warga ikut dalam bahaya. Satu
lagi, aku peringatkan kauorang pertama yang mungkin dalam bahaya." Ucap
Ki Agung sungguh-sungguh. Raut wajah Pak Dharmo berubah bengis, menatap tak
suka pada Ki Agung.
“Maaf, Ki. Saya tidak akan percaya hal bodoh seperti itu.
Saya tidak suka jika ada yang menghalangi jalanku apalagi hanya dengan dongeng
murahan seperti itu. Saya masih menghormati Ki Agung sebagai tetua Desa, tapi
jika terus seperti ini tidak ada pengecualian sekali pun untuk seorang Ki Agung Kusumo.” Bisik Pak Dharmo
bengis tepat di sisi telinga Ki Agung. Raut wajah Ki Agung Kusumo masih sama,
tak bersahabat sama sekali.
“Kalian semua, lebih baik kalian hati-hati!” Ki Agung
berkata tegas dengan nada suara meninggi sambil melempar pandangan pada
orang-orang yang berada di pekarangan rumah Pak Dharmo. Setelah itu Ki Agung
pergi.
Langkah Ki Agung terhenti.
No comments:
Post a Comment