Friday, April 24, 2020

Cerpen | Ulah Lanang Segede Sepur (Ular Jantan Sebesar Kereta) part 2



Oleh : Wawat Qomariyah

Setelah mendengar segala cerita si Kakek semalam, Parman dan Komar gelisah bukan main. Suasana ronda mendadak menjadi mencekam luar biasa, bukan lagi ketakutan pada harta benda warga yang mungkin saja hilang. Takutnya melebihi semua itu. Apalagi saat si Kakek pulang meninggalkan mereka berdua di pos ronda, atmosfer ketakutan bertambah berlipat-lipat. Jangankan untuk tertidur seperti ronda-ronda sebelumnya, untuk sekadar mengantuk pun mereka tak bisa. Mata mereka masih terjaga sempurna hingga fajar menyingsing dengan segala pergumulan hebat dalam masing-masing benak.
“Man, menurut sampeyan apa yang dikatakan Ki Agung Kusumo itu bener apa ngga, ya?” Komar bertanya pada Parman saat perjalanan pulang. Ini percakapan pertama mereka lagi setelah semalan terdiam dengan pikiran masing-masing.
Ora ngerti aku, Mar. Semaleman aku juga mikirin terus itu. Mau percaya sama begituan udah gak zaman, kalo gak percaya tapi yang ngomong Ki Agung. Mana mungkin Ki Agung bohong? Apalagi Ki Agung sudah lama hidup, pasti banyak yang dia ketahui ketimbang kita.” Jawab parman.
“Tapi ya kalo sampe bener aku takut banget, Man.” Ujar Komar dengan raut muka panik. Parman hanya menjawab dengan desahan berat, dia juga sama panik.
Mereka tetap saling diam hingga berpisah di persimpangan karena arah rumah mereka berbeda.
Pagi dimulai seperti biasa, seperti tak ada cerita apapun tadi malam karena memang hanya Komar dan Parman yang tahu. Setiba di rumah masing-masing mereka langsung tertidur tanpa memedulikan seeruan Tuhan yang mereka dengar dalam perjalanan pulang. Aktifitas warga berjalan tanpa terpengaruh apapun, tidak terkecuali dengan warung remang-remang yang sudah ada hampir di setiap sudut desa.
Ki Agung Kusumo pagi ini terduduk dengan pandagan mata kosong ditemani teh hangat buatan putrinya, Laeli.
"Kenapa toh, Pak? Tehnya diminum nanti dingin." Tegur Laeli yang melihat Ki Agung bergeming, melamun menatap langit.
"Dulu Bapak ndak percaya, Nduk. Dulu kakek buyut Bapak cerita ini dan Bapakmu ini ndak percaya." Gumam Ki Agung membuat Laeli mengernyitkan dahi.
"Maksudnya apa toh, Pak?" tanya Laeli, tapi tak ada jawaban dari bibir keriput Ki Agung.
Laeli memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, menyelesaikan pekerjaan yang belum tuntas. Baru saja ia mau melangkahkan kakinya, tiba-tiba langit di sebelah timur mendadak menghitam. Terlalu cepat jika itu dikatakan mendung, karena beberapa detik yang lalu matahari masih bersinar dengan sangat gagah. Dari kejauhan terlihat seperti gumpalan awan memanjang, melintang menghalangi cahaya bagaskara.
Laeli menghentikan langkahnya, Ki Agung bangkit dari duduknya. Mata tuanya mengkilap beringas, dahinya mengkerut, tangannya mengepal, hatinya benar-benar cemas. Kesiur angin kencang berhembus dari arah timur yang berarti dari arah pemakaman. Suara gemuruh bersahutan seperti akan turun hujan lebat.
"Ono opo toh, Pak?" Tanya Laeli gemetar, Ki Agung tak menjawab. Laeli tahu dari gelagat Ki Agung bahwa ini bukan pertanda baik.
Suasana mencekam itu hanya beberapa menit saja, setelah itu suasana kembali normal. Langit kembali cerah, tak ada lagi gumpalan awan hitam memanjang yang menutupi sinar bagaskara. Namun tak berapa lama kemudian, seseorang dari arah pemakaman lari tunggang langgan tanpa alas kaki. Wajahnya pucat pasi bak tak ada darah yang mengaliri. Beberapa kali ia terjatuh, akn tetapi segera bangkit lagi dan kembali berusaha lari. Dia Syamsul, tukang gali kubur di Desa Sukojiwo. Ki Agung  berlari menghampiri, Laeli menyusul.
"Ono opo toh, Lek? (Ada apa, Nak?)" tanya Ki Agung khawatir. Syamsul tak cepat menjawab, beberapa kali ia menoleh cemas ke belakang seolah sesuatu yang menakutkan tengah mengejarnya.
"Kamu yang tenang dulu, tarik nafas!" Perintah Ki Agung, Syamsul menurut.
"Iku ono iku loh Ki ...," nafas Syamsul terengah-engah tak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Ono opo?"
"Ono ... ono ... ono ... ulah, Ki. Ono ulah segede sepur, Ki.(Ada ... ada ... ada ... ular, Ki. Ada ular segede kereta, Ki.)” Jawab Syamsul gemetar. Wajahnya makin pucat. Wajah Ki Agung dan Laeli pun memucat.
"Sekarang, cepat kamu pulang! Kasih tau kepada warga yang lain untuk masuk ke rumah, tinggalkan maksiat, dan banyak eling (ingat) sama Gusti Yang Agung!" perintah Ki Agung, Syamsul mengangguk paham. Setelah berpamitan dia langsung berlari pulang.
"Nduk, mlebu ning umah. Elinga maring Gusti sing akeh (Nak, masuk ke rumah. Banyaklah ingat sama Tuhan)!" perintah Ki Agung pada Laeli, Laeli mengangguk ta'dzim lalu segera masuk ke dalam rumah.
Ki Agung Kusumo bergegas, langkahnya masih terlihat kokoh untuk seusianya. Matanya mendelik tajam, tak ada lagi tampang ramah yang disukai warganya. Beberapa kali Ki Agung bertemu dengan warga, tapi tak ada satupun dari mereka yang menyapa seperti biasa. Raut wajah Ki Agung yang berbeda, membuat tanda tanya besar di benak warga desa. Belum lagi kejadian yang baru saja terjadi. Beberapa warga yang berpapasan hendak bertanya perihal langit yang tiba-tiba menghitam namun tak lama kemudian kembali cerah, tapi tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka hanya bisa menerka, mungkin sesuatu yang buruk sedang atau akan segera terjadi. Sepasang mata mereka hanya mampu menatap punggung renta Ki Agung yang semakin menjauh.
Langkah Ki Agung berhenti di sebuah rumah dengan pekarangan luas. Suara riuh terdengar tanpa rasa cemas. Barangkali mereka terlalu sibuk menikmati musik gamelan diiringi tarian tradisional dari gadis-gadis berparas ayu, hingga tak sadar apa yang baru saja terjadi. Ki Agung mengelus dada, menghela napas berat. Musik dan tarian itu memang tradisional bernuansa budaya bangsa, tapi entah ditambahi apa sehingga rasanya malah tak patut dipertontonkan. Entah dari pakaian sang penari, tariannya yang dilebih-lebihkan, atau dari penonton yang bersorak-sorai sambil menggoda gadis-gadis itu.
Musik mendadak terhenti ketika salah satu dari mereka melihat kehadiran Ki Agung setelah itu semua mata hampir tertuju kepada sosok tua yang penuh karisma itu. Pak Dharmo pemilik rumah sekaligus Kepala Desa Sukojiwo juga ikut menoleh, dia tersenyum licik saat melihat siapa yang datang.
"Oh Ki Agung Kusumo, selamat datang, Ki!" sambut Pak Dharmo dengan nada semi mengejek sambil menghampiri.
"Ada apa gerangan seorang Ki Agung Kusumo datang ke rumah saya? Jika dipikir-pikir ini kali pertama Ki Agung mengunjungi rumah saya, setelah saya terpilih menjadi Kepala Desa." Ucap Pak Dharmo sambil tertawa dibuat-buat.
"Hentikan semua ini, Dharmo!" Ki Agung berkata tegas. Suasana hening sejenak tercipta, lalu buyar ketika Pak Dharmo tiba-tiba tertawa.
"Waaah, apa maksud Ki Agung itu? Mbok ya kalau bertamu itu masuk loh, Ki. Sini kita obrolkan di sini!" Ucap Pak Dharmo tanpa tasa hormat.
"Dharmo, yang kamu lakukan sudah diluar batas. Sebaiknya kamu berhenti, hanya soal waktu dia akan muncul." Ancam Ki Agung. Semua orang yang ada di sana saling melempar pandangan, mencoba mencerna apa yang tengah terjadi.
"Maksud Ki Agung, Ular penunggu pemakaman itu? Hahaha." Pak Dharmo tertawa menjijikkan. Ki Agung mulai naik pitam.
"Itu cuman mitos, Ki. Mitos. Hahaha." Pak Dharmo kembali tertawa, menganggap semua yang diceritakan hanya sebagai lelucon.
"Terserah kamu, Dharmo. Tapi, Syamsul penggali kubur dia melihat secara langsung. Aku hanya memperingatkan. Ingat ketika waktu itu tiba bukan hanya kamu yang celaka, tapi seluruh warga ikut dalam bahaya. Satu lagi, aku peringatkan kauorang pertama yang mungkin dalam bahaya." Ucap Ki Agung sungguh-sungguh. Raut wajah Pak Dharmo berubah bengis, menatap tak suka pada Ki Agung.
“Maaf, Ki. Saya tidak akan percaya hal bodoh seperti itu. Saya tidak suka jika ada yang menghalangi jalanku apalagi hanya dengan dongeng murahan seperti itu. Saya masih menghormati Ki Agung sebagai tetua Desa, tapi jika terus seperti ini tidak ada pengecualian sekali pun untuk seorang Ki Agung Kusumo.” Bisik Pak Dharmo bengis tepat di sisi telinga Ki Agung. Raut wajah Ki Agung Kusumo masih sama, tak bersahabat sama sekali.
“Kalian semua, lebih baik kalian hati-hati!” Ki Agung berkata tegas dengan nada suara meninggi sambil melempar pandangan pada orang-orang yang berada di pekarangan rumah Pak Dharmo. Setelah itu Ki Agung pergi.
Langkah Ki Agung terhenti.
Duh Gusti, kulo nyuwun pangapunten (Gusti, saya meminta ampun)!” lirih Ki Agung.


Bersambung ....





No comments:

Post a Comment